Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Folklore,
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah,
STKIP Muhammadiyah Kuningan.
Kelompok: Fahmi Hikmatul Ikhsan, Wildan, Rifki Hasan
Desa Lebakherang berada di wilayah Kecamatan Ciwaru, Kabupaten Kuningan ini terletak di sebelah barat daya ibu kota Kecamatan Ciwaru yang beriklim tropis dengan suhu udara antara 21–32 derajat celcius. Desa ini berada diketinggian 250-300 mdpl dengan luas wilayah desa 182.170 hektar. Desa ini terdiri dari 3 Dusun, 3 RW dan 10 RT dengan batas wilayah di sebelah barat berbatasan dengan Desa Giriwaringin dan Desa Cipakem di Kecamatan Maleber. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Citikur. Bagian selatan berbatasan dengan Desa Cilimusari, Kecamatan Cilebak, dan disebelah utara berbatasan dengan Desa Cilayung.
Dikutip dari Lebakherang TV, sejarah berdirinya Desa Lebakherang menurut tokoh masyarakat setempat awalnya berasal dari Desa Galaherang di Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan. Diceritakan pada zaman dahulu kala jarang sekali warga yang mempunyai sawah, akhirnya mereka membuka lahan di hutan di area gunung Rabuk. Setelah membuka lahan di hutan mereka menemukan salah satu sungai disana yang airnya selalu jernih dan tidak pernah keruh walau pun ada hujan deras. Kemudian kelompok warga tersebut memutuskan membuat sebuah pemukiman, dan tercetuslah untuk menamai desa yang ditempati tersebut dengan nama Lebakherang. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Lebakherang artinya aliran sungai yang jernih.
Di Lebakherang terdapat beberapa pantangan yang harus ditaati dan tidak boleh dilakukan oleh warga setempat, yaitu adanya bedug. Pada zaman dahulu dengan adanya bedug setiap menanam padi, padinya tidak akan berisi buah padi karena orang-orang mengira padi tersebut takut dengan suara bedug. Setelah itu bedug pun oleh warga banyak dijual ke wilayah Janglapa, Rancah di Kabupaten Ciamis. Sampai sekarang masih terdapat peninggalannya. Selain itu ada pantangan lain yaitu tidak boleh diadakan pagelaran wayang golek, karena menurut kepercayaan arwah leluhur takut akan adanya wayang golek. Jadi kedua pantangan tersebut harus benar-benar ditaati dan tidak boleh dilanggar.
Era Hindu
Peradaban manusia di Desa Lebakherang telah ada sejak lama. Hal ini dibuktikan dengan adanya patilasan (peningalan sejarah) berupa patilasan atau makam yang dipercaya sebagai makam Ratu Bungsu. Dalam cerita Sunda, Ratu Bungsu cenderung mengarah pada tokoh cerita pantun “Lutung Kasarung“ dimana dalam lakon itu diceritakan bahwa seorang putra mahkota Kerajaaan Padjajaran berkelana mencari jodoh seorang wanita yang wajahnya mirip ibunya, ia pun pergi meninggalkan kerajaan dan menyamar menjadi orang biasa, dan sampailah di kerajaan Pasir Luhur dimana rajanya mempunyai seorang putri berwajah cantik jelita. Konon putri raja tersebut bernama Purba Sari. Dari kisah itu dapat disimpulkan bahwa kepercayaan masyarakat Lebakherang akan petilasan Ratu Bungsu yang terletak di puncak Gunung Rabuk itu dapat diperkirakan muncul pada masa kerajaan Padjajaran atau Galuh yang berkuasa di tanah Sunda, dan diperkirakan terjadi pada tahun 1297-1579 M.
Dari bukti sejarah patilasan Ratu bungsu sebelum mengalami renovasi, masyarakat yang sering berziarah menemukan adanya peninggalan berupa perkakas yang terbuat dari batu dan lumpang.
Belum bisa dipastikan apakah pada masa itu sudah ada peradaban di Desa Lebakherang atau kehidupan manusia pada waktu itu, tapi setidaknya dengan adanya bukti sejarah tersebut minimal dapat diketahui bahwa pada waktu itu sudah ada tanda-tanda bahwa pada jaman itu wilayah Lebakherang sudah mulai dikenal oleh manusia walau pun tidak menetap atau berbudaya layaknya kelompok masayarakat yang berdiam.
Jika kita hubungkan patilasan Ratu Bungsu dengan sejarah Sunda dapat diperkirakan terjadi pada masa jayanya kerajaan Padjajaran yang berkuasa mulai tahun 1297-1579 M atau pada masa pemerintahan Demunawan di Saunggalah (Kuningan sekarang) atau pada masa Sang Aria Kuku yang mempunyai ajian Dangiang Kuning raja kecil di wilayah Kuningan dulu. Tapi itupun belumlah kuat karena belum ada penelitian dan sumber-sumber sejarah pun tidak pernah menyebut nama tempat Lebakherang.
Era Islam
Berbicara tentang sejarah Lebakherang yang peranannya tidak begitu berarti pada masa lalunya sangatlah sulit untuk di paparkan para tetua, atau pinisepuh pun bingung menceritakan hal ikhwal adanya pemukiman di desa. Tetapi masih beruntung para leluhur mewariskan tentang perjalanan hidupnya walaupun hanya berupa makam atau nama yang dikenal orang sejak dulu.
Dua buah makam yang diyakini sebagai makam leluhur di Lebakherang memberikan setidaknya gambaran perjalanan leluhur desa pada waktu itu. Dua buah makam yang diyakini sebagai makam “Eyang Dalem Samiulin“ dan “Eyang Dalem H. Akrimudin“ setidaknya menjelaskan bahwa leluhur desa itu hidup pada masa itu dan dari namanya jelas menunjukkan bahwa ia hidup dan menetap di Lebakherang pada masa perkembangan agama Islam di nusantara.
“Eyang Dalem H Akrimudin atau Salimudin Samiulin“ dari bahasanya nama ini menunjukkan atau menceritakan sesuatu yang perlu dikaji dan telaah, selama ini wacana yang berkembang di masyarakat Eyang Dalem itu adalah karuhun yang melindungi kampung dari marabahaya.
Kata “Eyang“ dalam Bahasa Sunda mengartikan seseorang yang usianya lebih tua dengan sebutan Aki atau Buyut, dan lebih spesifik Eyang itu adalah orang tua berilmu yang disegani dan dihormati.
Kata “Dalem“ berarti orang terhormat pada waktu itu. Dalem sama dengan gelar kehormatan bagi keluarga keraton/kerajaan di Jawa, setidaknya adalah abdi kerajaan.
Sedangkan kata atau nama “Akrimudin“ atau “Samiulin“ menunjukkan bahwa orang tersebut beragama Islam, sebab dari lapal katanya menunjukkan nama tersebut adanya unsur serapan dari bahasa Arab.
Tapi kapan dan siapakah kedua tokoh ini sebenarnya hidup? Tidak ada yang tahu pasti mengenai tokoh ini, tetapi dari bukti peninggalan sejarah berupa makam dan nama yang begitu melegenda dapat diperkirakan kedua tokoh ini hadir di Lebakherang pada masa penyebaran Islam di tanah Jawa. Bisa diperkirakan kedatangan Eyang Akrimudin dan Samiulin ini berkaitan dengan penyerangan tentara Kerajaan Mataram Islam ke Batavia pada masa Pemerintahan Sultan Agung tahun 1615-1645 (Sundakala Karya Ayat Rohaedi). Tetapi penyerangan tentara Mataram ini mengalami kegagalan karena kokohnya benteng pertahanan Belanda di Batavia. Akibat dari kekalahan ini Sultan Agung murka dan menghukum para prajuritnya yang kembali ke Mataram, karena takut akan hukuman Sultan Agung banyak para prajurit kerajaan Mataram yang kemudian menetap dan tinggal di daerah Sunda khususnya Cirebon-Indramayu. Bukan tidak mungkin untuk menghindari hukuman Sultan Mataram dan kejaran musuh yaitu Belanda para prajurit ini mengungsi ke daerah pedalaman/hutan dan mendirikan perkampungan, dan salah satunya yaitu Eyang Dalem Akrimudin dan Samiulin yang tinggal di wilayah Pegunungan Rabuk yang kemudian berkembang menjadi Desa Lebakherang.
Alternatif lain pun muncul Eyang Akrimudin dan Samiulin datang ke Lebakherang dalam misi penyebaran Islam atas perintah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dalam rangka mendesak kedudukan Kerajaan Padjajaran dan Galuh sebagai penganut ajaran Hindu. Tapi itu terlalu jauh, sebab hancurnya kerajaan Galuh terjadi pada tahun 1579 M, sedangkan keberadaan peradaban di Desa Lebakherang tercatat dalam pemerintahan mulai adanya aparat pemerintahan yaitu Kuwu mulai Tahun 1825 M dengan jumlah penduduk masih relatif sedikit.
Era Pemerintahan pra Kemerdekaan
Masih adanya keturunan generasi ke tiga dari Buyut Akrim pejabat pertama pemerintah perkampungan Desa Lebakherang sedikit memberi terang akan runtutan sejarah sejak dimulainya kepengurusan Buyut Akrim dimasa itu. Buyut Akrim bukanlah penduduk asli Lebakherang melainkan seorang perantau. Sebagian orang mengatakan berasal dari daerah Galaherang, Kecamatan Maleber, dan sebahagian lagi menyebut berasal dari Luragung. Dalam perjalanannya itu ia berjodoh dengan seorang perempuan asli dari Lebakherang, namun tidak diketahui dengan pasti siapa namanya. Ia pun dipercaya memimpin Desa Lebakherang dan menjadi kepala Desa Lebakherang yang pertama yaitu pada tahun 1825-1860 M. Dari prkawinannya itu ia memiliki empat orang anak diantaranya yaitu:
1. Wakiah, yang dikemudian hari melahirkan keturunan dan berdomisili di Desa Patala diantaranya bernama Suhari dan menjadi kuwu di Desa Patala, kemudian anak keduanya yaitu Embok Uya yang mempunyai anak yaitu :
1) Asri (Enci)
2) Wasti
3) E. Sami
4) E. Harni
5) E. Ajem
6) E. Supi
7) Bapak Uya
2. Embok Sampan, mempunyai anak yaitu :
1) Embok Sarmi
2) Bapak Dawa
3) Bapak Karsam
4) Embok Arti
5) Bapak Sampan (Bapak Barang)
3. Bapak Jamiran yang kemudian melanjutkan tampuk kepemimpinan menjadi Kepala Desa pada tahun 1860-1893. mempunyai anak yaitu:
1) Embok Ijoh
2) Ibu Runtah yang bermigrasi ke Desa Cipakem
Selain menikah dengan istri pertama, Buyut Akrim juga menikah dengan Asrita istri keduanya. Tidak disebutkan apakah mempunyai istri kedua itu karena cerai atau ditinggal mati, ataukah beristri dua. Dari istri kedua yang bernama Asrita, Buyut Akrim mempunyai 7 orang anak yaitu;
1. Ibu Sumarmi yang kemudian menikah dengan Bapak Bekut (Baskat) dari Balandongan dan dipercaya menjadi Kepala Desa Lebakherang, melanjutkan kepemimpinan Bapak Jamiran. Sayang dari kedua pasangan ini tidak dikaruniai keturunan.
2. Bapak Kasban yang mempunyai anak yaitu:
1) Bapak Armat
2) Ibu Sutirah
3) Ijoh
4) Tarmi
5) Sukarta
6) Erah
7) Dayu
3. Embok Kebo (Embok Murti) yang mempunyai anak yaitu:
Ibu Suparmi, Bapak Karna, Abdul Sukarya, Taryu (Pindah ke Citundun), Mad Tohir, Sapti (ke Cilengkrang), dan Sumardi.
4. Embok Bit yang mempunyai anak yaitu ;
Sastra Dikarma, Ibu Kimi, Kanta Wirja, Embok Iboh, Sastra Amung, dan Muhyi yang saat buku ini disusun masih hidup.
5. Hasan Marum yang mempunyai anak yaitu:
Bapak Atma, Ibu Nurwita, Ibu Ruhyat (ke Cilimusari), Rukma, Ibu Katmah, Ibu Enah (istri mantra Edi), H.O. Supardi, Bapak Supandi, Ibu Siti.
6. Embok Suminta yang mempunyai anak yaitu:
Ibu Siti, Jaya Sukatma ( Pa Entah ) Sastra Suwita (ke Ciwaru), Ibu Kimi (ke Cilayung), Ibu Isah, Ibu Itik, Bapak Usen.
7. Bapak Paraja yang mempunyai anak yaitu:
Ibu Tarmi (ke Ciwaru), Ibu Ebo (ke Gagambiran), Ibu Ani, Ibu Rasita, Jatiah dan Ibu Sutri.
Setelah berhenti dari kepala Desa (Kuwu) tampuk pimpinan pemerintahan di Desa Lebakherang dilanjutkan oleh Bapak Jamiran (tahun 1860-1893). Bapak Jamiran merupakan anak Buyut Akrim dari istri tuanya. Tahun 1893 Bapak Jamiran pensiun dari Kuwunya dan digantikan oleh Bapak Bekut suaminya Ibu Sumarmi anak Buyut Akrim. Berarti tampuk pemerintahan pada masa itu dipegang oleh menantunya yang menurut cerita berasal dari Balandongan. Sayang dari kedua pasangan ini yaitu Bapak Bekut dan Ibu Sumarmi tidak dikaruniai keturunan. Kuwu Bekut memerintah dari tahun 1893–1921 M. setelah itu Lebakherang menjadi kampung.
Era Kemerdekaan
Masa perubahan Lebakherang menjadi kampung terjadi pada tahun 1921 M, dan sebagai kepala kampungnya atau biasa disebut Rurah adalah Rurah Sepuh atau Rurah Salim Sastrahardja yang memerintah pada tahun 1921–1960 M atau sekitar 39 tahun. Salim Sastraharja merupakan menantu dari bapak Hasan Marum, sedangkan Hasan Marum adalah anak dari Buyut Akrim dari istri kedua. Dengan demikian tampuk pemerintahan masih berlanjut diteruskan oleh menantu.
Tahun 1960 M Rurah Salim berhenti dari kerurahannya dan digantikan oleh Bapak Rurah Atma yang memerintah dari tahun 1960–1967 atau selama 7 tahun. Rurah Atma merupakan cucu Buyut Akrim dari anaknya yang bernama Hasan Marum. Dengan demikian sudah dua orang generasi dari keturunan Hasan Marum yang meneruskan tampuk pemerintahan yaitu Bapak Salim sebagai menantu dan Bapak Rurah Atma sebagai anak.
Tahun 1967 Rurah Atma berhenti memerintah dan digantikan oleh Bapak Aman. Rurah Aman adalah buyutnya Bapak Akrim. Lebih jelasnya bisa ditelusuri dari awal, dimana Buyut Akrim menikah dua kali dari istri keduanya dikaruniai keturunan sebanyak tujuh orang, diantaranya Embok Bit. Embok Bit mempunyai keturunan diantaranya Bapak Ulis Sastradikarma. Sastradikarma mempunyai anak bernama Aman. Rurah Aman memerintah selama 15 tahun (1967–1982).
Tahun 1982, Desa Sumberjaya memisahkan Lebakherang menjadi desa mandiri kembali dalam istilah pemerintahan dimekarkan, dan sebagai kuwunya diangkat Rurah Aman “Anwar Hidayat“ yang memerintah selama 11 tahun (1982–1993).
Pada tahun 1993 setelah berhentinya Anwar Hidayat dari kepala desa, terjadi kekosongan kepala pemerintahan selama ±5 tahun yaitu hingga tahun 1998. Mengisi kekosongan kepemimpinan peemrintah desa maka dijabat oleh Bapak T. Atang Rustandi.
Tahun 1998 diadakan pemilihan kepala desa, dan terpilih Bapak Djaswa AS sebagai Kepala Desa Lebakherang. Bapak Djaswa merupakan anak Bapak Dawa dari anaknya Embok Sampan keturunan Bapak Akrim dari istri pertama. Kuwu Djaswa memerintah selama 8 tahun (1998–2006).
Pada tahun 2006 terjadi lagi masa transisi kekosongan kepala pemerintahan. Untuk mengisi kekosongan diangkat Kadus Babakan yaitu Bapak Dede AS yang didaulat menjabat kekosongan kepala desa. Pada tahun berikutnya Kuwu Dede AS mencalonkan menjadi kepala desa Lebakherang dan diangkat menjadi kepala desa masa bakti 2007-2013.